Opini

OPINI : Pintu Masuk Politik Uang pada Pesta Demokrasi

121
×

OPINI : Pintu Masuk Politik Uang pada Pesta Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Penulis : Panwascam Tanete Riattang Barat, Darwis T

OPINI — 
Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan mengungkapkan hasil survei tahun 2020 kajian Litbang Kompas soal politik uang, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang. “Mayoritas masyarakat tidak melaporkan praktik politik uang kepada pihak berwenang” ujar Bambang. Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN). Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu.

Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu dengan tema Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diadakan oleh Bawaslu, di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021).

Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia.

Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut. Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.

Baca Juga:  Opini : “Rencana Anggaran Cerminan Kualitas Belanja”

Politi uang dalam perspektif sosial budaya

Menurut hemat saya bahwa politik uang terjadi karna adanya kondisi dimana si penerima atau masyarakat/warga yang memiliki hak pilih merasa bahwa selama ini tidak didengar aspirasinya ketika terpilih duduk disuatu jabatan (legislative ataupun eksekutuf) sehingga melahirkan sifat pesimis bahwa tidak akan Diwakili atau diperjuangkan hak-hak politiknya akhirnya kondisi tersebut yang membentuk konstruk berpikir mereka dengan asumsi bahwa “siapapun yang terpilih tidak ada efeknya untuk kita” sehingga momentum kampanye diibartkan seperti pasar dengan harapan “ ada uang ada suara” hal tersebut bergulir seperti bola salju di tengah kelompok masyarakat sehingga many politik merupakan hal yang biasa sehingga calon yang tidak siap berkompetisi secara sehat memanfaatkan momentum tersebut.

Celah Hukum Politik Uang
Mari kita menelaah permasalahan dan celah hukum yang memungkinkan meningkatnya potensi praktek politik uang. Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat celah dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang. Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu: terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan Undang-Undang.

Pertama Pada masa sosialisasi para Bakal calon legislatif belum di kategorikan sebagai peserta pemilu sehingga belum ada aturan main yang mengatur ketika memberikan atau menjanjikan sesuatu pada calon konstituennya sehingga hal tersebut menjadi pintu masuk maney politik.

Baca Juga:  Selamat Hari Bhayangkara ke-78 

Kedua, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye. Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”. Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang.

Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik. Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84).

Keterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.

Ketiga, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas. Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan      pengadilan              berkekuatan      hukum  tetap     sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik. Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan.

Baca Juga:  Digitalisasi Pembayaran Belanja Negara Atas Beban APBN Terhadap UMKM

Tidak Teridentifikasi
Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon. Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi. Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang. Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya menghadirkan saksi. Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.sehhingga politik uang diibartkan “bauh kentut” yang baunya menyegant akatetapi sulit ditemukan asalnya.

Hal tersebut yang menyebabkan jalan buntu untuk mengungkap dugaan politik uang ke ranah hukum dan menjadi fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti2 yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang). Maka ketidak cukupan alat bukti menyebabkan penindakan  hukum praktik politik uang mandek di tengah jalan.