KABARTA.ID, PANGKEP — Tim Peneliti Unhas dan BRIN yang tergabung dalam riset “ Penelusuran Toponimi Kuno Pesisir Sulawesi Selatan” kembali menemukan nisan Aceh di Pangkep.
Nisan Aceh yang merupakan nisan istimewa Nusantara dan keberadaannya cukup langka di Sulawesi. Nisan Aceh di Pangkep ditemukan di Lembang yang digunakan pada makam Somba Labakkang bernama I La Upa Bagenda Ali Matinroe ri Sikkiri’na. Berdasarkan lontara La’bakkang, Periode hidup Bagenda Ali pada pertengahan abad ke-18.
Perjalanan penelusuran tim Toponimi Kuno Pesisir di Pangkep sudah berjalan sejak tanggal 17 Mei hingga beberapa hari ke depan. Penelitian ini berjalan atas kolaborasi UNHAS dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Ketua Tim Peneliti Toponimi Kuno Pesisir Kabupaten di Pangkep, Prof. Muhlis Hadrawi mengatakan tujuan menelusuri Kabupaten Pangkep untuk meneliti toponimi kuno di wilayah Pesisir Barat Sulawesi Selatan Pangkep. Penelusuran ini sekaligus menemukan keberadaan nisan Aceh di Sulsel sebagai khazanah cagar budaya khususnya makam tua yang ada di Kabupaten Pangkep.
Salah satu potensi cagar budaya yang ditemukan Prof Muhlis Hadrawi dan tim adalah makam Nisan Aceh pada Nisan Somba Labakkang yang berada di Kampung Lembang, Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. Makam ini sudah diisentifikasi oleh BPCB namun belum ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Pemda Pangkep.
“Perlu kami informasikan, bahwa hari ini kami berada di makam kompleks Somba Labakkang di Kampung Lembang dan kami menemukan Makam yang menggunakan Nisan Aceh tipe C yang merupakan makam dari Bagenda Ali Matinroe ri Sikkirina. Beliau adalah Somba Labakkang, “ujarnya, Kamis (22/5/2025).
Dia menjelaskan, selama dalam perjalanan risetnya, ini adalah satu hal yang sangat menarik karena penemuan ini sebagai potensi menjadi Cagar budaya di Pangkep.
“Perlu diketahui bahan penggunaan nisan Aceh ini sangat langka di Sulawesi Selatan. Hanya orang-orang bangsawan tinggi dan kerajaan besar yg memilikinya. Seperti Kerajaan Gowa ada Sultan Alauddin, Sultan Hasanuddin, dan La Pareppa To Soppewali. Kemudian di Bone Ibunda La Patau Matanna Tikka yakni Mappolo Bombang dan ayahnyanya bernama La Pakokoe juga menggunakan Nisan Aceh, “ungkapnya.
Selain di Bone, timnya juga menemukan nisan Aceh di kompleks makam Raja Tallo. Raja Tallo dan permaisurinya juga memakai Nisan Aceh, Jeneponto, Maros Belang-belang begitupun yang ada di Pangkep hanya Somba Labakkang yang memilikinya.
” Yang jelasnya ini nisan sangat langka, sangat mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang bangsawan yang tinggi saja dan yang memiliki pengaruh yang sangat kuat, “jelasnya.
Sementara itu, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Makmur menambahkan, jika makam yang digunakan Somba Labakkang adalah nisan tipe C yang hanya digunakan para bangsawan tinggi pada saat awal-awal memeluk agama islam.
“Bukan hanya tipe C, tipe A, tipe K tapi ini memiliki nilai penting, misal dalam posisi politik dan ini sangat penting di masa lampau karena terbukti menggunakan nisan Aceh langka ini, ” ujarnya.
Dia menyebut, apa yang ditemukan tim sebagai bukti arkeologi Cagar budaya di Pangkep.
“Saya pikir itu bisa kita lihat sebagai bukti arkeologi hari ini, bagaimana penggunaan nidan Aceh terhadap makam Somba Labakkang, ” jelasnya.
Dosen Arkeologi Unhas sekaligus peneliti dari BRIN, Dr Hasanuddin juga membenarkan kalau tipe C pada Makam Somba Labakkang sangat langka.
Dia menguraikan bagaimana hubungan Aceh dan Sulawesi di masa lampau.
“Tipe Nisan C seperti ini sudah ada pada abad ke 17 dan ini sekaligus memberikan bukti kepada kita, bahwa ada hubungan antara Aceh dan Sulawesi, ” jelasnya.
Dia menambahkan, hubungan itu dapat dilihat kembali dalam pedagang, penyebaran dan penyiaran agama di Sulawesi Selatan.
“Nisan seperti ini sangat spesifik dan tidak semua Raja atau penguasa di Sulsel itu dihadiahkan dengan nisan seperti ini. Artinya, ketika kita bisa menemukan nisan seperti ini kita bisa menafsirkan dan memberikan keterangan bahwa, itu memiliki kharisma dari segi keagamaan. Mungkin, beliau Somba Labakkang juga salah satu pelopor masuknya gama islam ke daerah ini, “jelasnya.
Dia melanjutkan, hal lain yang dapat dilihat dari segi kharisma hubungan genologi.
“Contohnya Arung Palakka itu, hanya Ibu dan Ayahnya saja yang dihadiahkan nisan seperti ini dan memang nisan ini terbatas persebarannya. Hal itu pula yang menandakan bahwa intensitas peradagangan, hubungan antara Sulawesi dan Aceh itu sudah mulai berkembang sejak abad ke 17,”jelasnya.
Hasanuddin menambahkan, hal itu menjadi cerminan juga kepada Aceh sejak dulu sudah melakukan kunjungan, lalu diperkuat dengan tradisi dan budaya yang sama serta kepentingan perdagangan dan ditambah lagi dengan kepentingan syiar agama dari Aceh, “jelasnya.(Mun)*.