Terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2003 mengawali reformasi sistem keuangan negara, yang dilanjutkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kedua undang-undang ini memperkuat komitmen pemerintah Indonesia dalam membangun tata kelola yang transparan dan akuntabel. Salah satu upaya progresif yang dilakukan adalah menerapkan sistem pembayaran nontunai di semua kementerian/lembaga.
Setelah Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 yang mendukung Gerakan Nasional NonTunai, Kemenkeu menerbitkan serangkaian kebijakan: PMK Nomor 230 Tahun 2016 (yang mendukung penggunaan internet banking), PMK Nomor 196 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah, hingga implementasi virtual account di 22.000 rekening pengeluaran pada tahun 2020.
Pada 2021-2022, pemerintah bersama pihak perbankan meluncurkan platform marketplace DigiPay, KKP Domestik, dan QRIS untuk mendukung belanja pemerintah. Pemerintah menargetkan seluruh pengadaan manual dapat beralih ke sistem elektronik pada 2023 sesuai Inpres Nomor 2 Tahun 2022.
Pentingnya Transformasi Nontunai
Dengan landasan hukum dan kebijakan tersebut, transformasi pembayaran nontunai menjadi suatu keharusan. Lantas, mengapa peralihan ini begitu penting? Sistem nontunai bukan sekadar mengikuti tren teknologi, melainkan pondasi tata kelola pemerintahan yang baik. Manfaatnya nyata, mengurangi kecurangan, meningkatkan transparansi, dan memperkuat akuntabilitas. Negara-negara maju telah membuktikan efektivitasnya dalam mencegah pencucian uang dan korupsi.
Analisis Transformasi dengan Kerangka McKinsey 7-S
Memahami pentingnya perubahan ini, implementasinya tentu memerlukan analisis yang mendalam dan terstruktur. Transformasi organisasi bukanlah hal yang sederhana, karena melibatkan berbagai elemen yang saling terkait dan memengaruhi keberhasilan secara menyeluruh.
Untuk memahami kompleksitas implementasinya, mari kita analisis implementasi pembayaran nontunai pada Satuan Kerja Pemerintah Pusat (SKPP) di Kab. Sinjai menggunakan Framework McKinsey 7-S. Model ini mengidentifikasi tujuh elemen kunci keberhasilan transformasi organisasi.
1. Struktur (Structure): Membangun landasan organisasi baru
Pelaksanaan sistem nontunai mengubah ekosistem pengeluaran APBN yang dibayarkan melalui UP (Uang Persediaan). Dalam sistem ini, bendahara pengeluaran harus selalu siap berkoordinasi dengan Pejabat Pengadaan Barang/Jasa (PPBJ) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Koordinasi dilakukan ketika terdapat pengadaan yang memerlukan pembayaran segera untuk memastikan ketersediaan dana dan mencegah keterlambatan pembayaran yang berpotensi menghambat proses pengadaan. Kini, PPBJ dan PPK juga dapat menggunakan Kartu Kredit Pemerintah untuk pengadaan, sehingga menciptakan jejak audit digital yang jelas.
2. Strategi (Strategy): Langkah terukur menuju digitalisasi
Strategi dimulai dengan melaksanakan sosialisasi yang intensif dan pelatihan bendahara untuk menguasai aplikasi Cash Management System (CMS). Namun, tantangan muncul karena tidak semua bendahara familiar dengan penggunaan teknologi informasi. Kondisi ini mendorong Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Sinjai bekerja sama dengan perbankan menyediakan helpdesk dan pendampingan teknis. Edukasi CMS uga diberikan kepada pelaku usaha kecil menengah yang terbiasa transaksi tunai.
3. Sistem (System): Revolusi Cara Kerja
Perubahan fundamental terjadi pada cara kerja bendahara, khususnya sistem pencatatan yang real-time yang membuat setiap transaksi nontunai akan tercatat pada sistem perbankan. Bendahara juga wajib mencatat transaksi secara berkala pada aplikasi SAKTI (Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi) agar tidak menumpuk di akhir bulan. Perubahan ini menuntut disiplin tinggi dan perencanaan arus kas yang matang karena bendahara harus memastikan saldo rekening sebelum melakukan pembayaran.
Mekanisme nontunai mendorong evaluasi kebijakan penyimpanan yang tunai di brankas (maksimal Rp50 juta). Evaluasi ini bertujuan untuk membatasi jumlah pembayaran secara tunai kepada pihak ketiga, sebagaimana yang telah diterapkan di beberapa pemerintah daerah.
4. Sumber Daya Manusia (Staff): Beragam Kompetensi, Satu Tujuan
Latar belakang Pendidikan bendahara SKPP di Kabupaten Sinjai sangat beragam, ada meliputi ilmu ekonomi, administrasi negara, dan disiplin ilmu lainnya. Tantangan utama muncul dari bendahara senior (usia 50 tahun ke atas) yang membutuhkan adaptasi yang lebih lama terhadap teknologi digital, sehingga memperlambat waktu implementasi.
5. Gaya Kepemimpinan (Style): Kunci Sukses Transformasi
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) memegang peran strategis dalam transformasi ini. Penerapan budaya transaksi nontunai memicu respon beragam dari pimpinan SKPP. Ada yang memberikan dukungan, namun ada pula yang menunjukkan sikap resisten terhadap perubahan tersebut. Kementerian Keuangan melalui berbagai regulasi yang telah diterbitkan untuk mendorong penerapan transaksi nontunai memerlukan komitmen bersama dari para KPA. Untuk memperkuat hal tersebut, Kepala KPPN Sinjai pada awal 2025 mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan SKPP menggunakan CMS, KKP, dan DigiPay sebelum mengajukan Surat perintah Membayar Ganti Uang Persediaan (SPM GUP) atau permohonan Tambahan Uang Persediaan (TUP).
6. Keahlian (Skill): Sertifikasi sebagai Jaminan Kualitas
Sebelum menunjuk seorang bendahara, KPA wajib memastikan pegawai mengikuti pelatihan bendahara terlebih dahulu. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kemenkeu sebagai penyelenggara, melaksanakan pelatihan tersebut selama 4 hari dan setiap peserta pelatihan wajib mengikuti ujian kompetensi. Peserta yang lulus ujian kompetensi dapat mengikuti Sertifikasi Kompetensi yang dilaksanakan oleh DJPb. Setelah sertifikat kompetensi diterbitkan, maka Kuasa Pengguna Anggaran dapat menunjuk pegawai tersebut sebagai bendahara.
Selain bendahara, pejabat lain seperti PPBJ dan PPK juga wajib mengikuti pelatihan sebelum ditunjuk sebagai PPBJ dan PPK. Pelaksanaan sertifikasi ini terbukti menunjang keberhasilan transformasi pembayaran nontunai.
7. Nilai Bersama (Shared Values): Transparansi sebagai Budaya
Transaksi nontunai mencerminkan tiga nilai fundamental:
• Akuntabilitas yaitu setiap hari bendahara wajib menginput transaksi pada aplikasi SAKTI dan melakukan pengecekan saldo rekening pada akhir hari kerja;
• Transparansi yaitu bendahara wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada KPPN setiap bulan;
• Efektivitas-Efisiensi yaitu biaya operasional dapat berkurang akibat penurunan biaya transportasi ke bank serta proses pembayaran menjadi lebih cepat.
Capaian dan Tantangan di Lapangan
Meski analisis kerangka kerja 7-S memberikan pemahaman teoritis, realitas di lapangan kerap menghadirkan dinamika yang kompleks. Di satu sisi, sistem nontunai memungkinkan pemantauan real-time untuk proses audit, bendahara dapat mencetak rekening koran kapan saja, dan mengurangi risiko pencurian. Namun, sepanjang 2024, hanya 10 dari 23 SKPP (43%) yang menggunakan CMS/KKP, dan 6 (26%) yang menggunakan Digipay .
Oleh karena itu, Kepala KPPN Sinjai pada awal 2025 mengeluarkan kebijakan di mana SKPP wajib melampirkan bukti transaksi CMS, KKP, dan DigiPay untuk setiap pengajuan SPM GUP dan permohonan TUP. Kebijakan ini terbukti efektif meningkatkan penerapan transaksi nontunai. Pada Mei 2025, 17 dari 22 SKPP (77%) telah menggunakan CMS/Digipay, dan 14 (64%) telah menggunakan KKP. Meski demikian, kebijakan ini masih menghadapi tantangan berdasarkan survei kepuasan masyarakat Triwulan I Tahun 2025.
Refleksi: Menuju Masa Depan yang Lebih Baik
Berdasarkan analisis McKinsey 7-S, kesuksesan transformasi digital di SKPP Kabupaten Sinjai ditentukan oleh tiga pilar: strategi jelas, sistem terintegrasi, dan struktur pendukung. Tantangan ke depan berfokus pada faktor manusia, khususnya dinamika SDM dan gaya kepemimpinan yang individual. Faktor inilah yang memerlukan perhatian berkelanjutan untuk membentuk shared values yang kuat.
Transformasi ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi tentang membangun budaya kerja baru yang transparan, akuntabel, dan efisien. Perjalanan menuju tata kelola pemerintahan yang berkualitas masih panjang, tetapi langkah pertama telah dimulai dengan baik.
Pengalaman SKPP di Kabupaten membuktikan bahwa perubahan menuju tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel dapat terwujud melalui pendekatan yang sistematis. Dengan komitmen berkelanjutan dari semua pihak, visi Indonesia yang bebas korupsi dan efisien bukan lagi sekadar cita-cita, melainkan tujuan yang dapat dicapai.
Artikel ini merupakan refleksi dari implementasi sistem pembayaran nontunai di SKPP di Kabupaten Sinjai, yang dapat menjadi pembelajaran berharga bagi transformasi digital sektor publik di Indonesia.