KABARTA.ID, SINJAI— Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Pemerintah Daerah (Pemda) Sinjai menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di ruang paripurna, Senin (8/9/2025).
Namun, forum tersebut menuai sorotan lantaran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sinjai tidak diundang dalam pembahasan.
Padahal, LBH selama ini dikenal aktif mengawal persoalan kenaikan PBB-P2 sekaligus menjadi wadah masyarakat dalam menyampaikan aspirasi maupun keluhan.
“Kami menilai DPRD dan Pemda sengaja menutup ruang partisipasi. LBH Sinjai selama ini menerima banyak pengaduan warga soal keberatan PBB-P2. Kalau kami tidak diundang, lalu siapa yang mewakili kepentingan masyarakat kecil di forum itu?” ujar Ahmad Marzuki, salah seorang pengacara dari LBH Sinjai.
Sejumlah pemerhati kebijakan publik juga menilai sikap DPRD dan Pemda Sinjai tidak melibatkan LBH sama saja menutup akses masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
“RDP itu mestinya terbuka, bukan eksklusif. Kalau pihak yang paling sering mendengar keluhan rakyat tidak dilibatkan, maka rapat hanya berisikan pandangan sepihak dari pemerintah,” ungkap seorang pemerhati.
Pihak LBH Sinjai bahkan menilai ada perlakuan berbeda.
“Beberapa organisasi kemahasiswaan yang juga membawa aspirasi masyarakat dapat undangan, sementara kami tidak. Kami merasa ini tidak fair,” tambah perwakilan LBH.
Dalam keterangan resminya, LBH Sinjai menyampaikan tujuh poin keberatan terkait kebijakan kenaikan PBB-P2, antara lain:
- Dasar hukum kenaikan PBB-P2 tidak tepat. Harusnya diatur melalui Peraturan Bupati sesuai amanat perda, bukan lewat keputusan maupun edaran bupati.
- Kenaikan NJOP bangunan tanpa indikator jelas. Contoh, pajak bangunan warga naik dari Rp151 ribu menjadi Rp1,028 juta atau setara 675%.
- Tarif minimum pajak bumi/tanah dianggap tidak sah. Edaran bupati yang menjadi dasar dinilai tidak memiliki kekuatan hukum, bahkan bertentangan dengan Perda Nomor 3 Tahun 2023 yang menyebut tanah dengan NJOP di bawah Rp10 juta tidak dikenakan pajak.
- Adanya edaran Mendagri yang justru menginstruksikan pemerintah daerah menunda kenaikan NJOP, mengevaluasi kebijakan, dan mensosialisasikannya terlebih dahulu kepada masyarakat.
- Pemda diingatkan tidak menyesatkan masyarakat dengan istilah “penyesuaian” yang sesungguhnya adalah kenaikan tarif.
- Mendesak pembatalan kenaikan NJOP dan tarif minimum PBB yang dinilai cacat hukum, serta meminta Pemda berkonsultasi ke Pemprov terkait tata cara penyusunan regulasi.
- Mengembalikan pembayaran PBB masyarakat yang sudah terlanjur dipungut tanpa dasar hukum yang sah.
LBH Sinjai juga menegaskan bahwa sejumlah daerah lain di Indonesia telah mencabut kebijakan serupa setelah mendapat protes masyarakat, dan mempertanyakan keseriusan Pemda Sinjai dalam menindaklanjuti aspirasi publik.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada penjelasan resmi dari DPRD maupun Pemda Sinjai terkait alasan tidak dilibatkannya LBH dalam forum RDP tersebut.(Bgs)