Oleh : Arif Kurniadi (Kepala KPPN Sinjai)
Pembangunan ekonomi yang berjalan hingga saat ini merupakan proses berkelanjutan dalam upaya peningkatan kesejahteraan umum, sebagai salah satu tujuan bernejgara sebagaimana UUD 1945.
Salah satu indikator tingkat kesejahteraan adalah kemiskinan. Menurut Andrianus dan Alfatih (2023), kemiskinan merupakan derivation of well being (kondisi hilangnya kesejahteraan).
Saat ini, kemiskinan masih menjadi permasalahan global, terutama negara-negara berkembang. Penanggulangan kemiskinan merupakan suatu hal yang penting dan memperoleh perhatian lebih karena kemiskinan berdampak pada turunnya kualitas hidup masyarakat yang dapat berakibat pada meningkatnya beban sosial ekonomi, rendahnya partisipasi masyarakat, memburuknya kepercayaan terhadap pemerintah, dan menurunnya mutu generasi yang akan datang.
Melihat luasnya dampak kemiskinan, maka dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan permasalahan multidimensional yang menyangkut semua aspek kehidupan manusia, bukan hanya persoalan rendahnya pendapatan dalam aspek ekonomi, namun juga menyangkut aspek sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan adalah inti dari permasalahan pembangunan dan tujuan utama dari kebijakan pembangunan di banyak negara, khususnya Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui beberapa perencanaan, seperti dalam RPJMN 2020 -2024 berdasarkan Perpres No. 18 tahun 2020 telah menetapkan target penurunan tingkat kemiskinan antara 7% hingga 6,5%, atau 18,34 juta sampai 19,75 juta penduduk pada akhir tahun 2024.
Adapun dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 ditargetkan kemiskinan menurun sekitar 8 hingga 7%. Pemerintah juga membuat berbagai kebijakan, seperti Inpres No. 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem yang melibatkan 22 kementerian, 6 lembaga, dan pemda untuk bersinergi membuat berbagai program pengentasan kemiskinan ekstrim melalui strategi untuk menurunkan beban pengeluaran mendorong peningkatan pendapatan, dan penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan.
Dari sisi fiskal melalui instrumen APBN, alokasi APBN untuk pengentasan kemiskinan, seperti alokasi Perlinsos (Perlindungan Sosial) juga mengalami kenaikan. Alokasi anggaran Perlinsos Tahun Anggaran (TA) 2024 sebesar Rp496,8 Triliun meningkat dibandingkan TA 2023 sebesar Rp476 Triliun.
Alokasi ini ditambah dari dana Transfer Ke Daerah (TKD), khususnya untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Non fisik sebesar Rp133,76 Triliun, Dana Desa sebesar Rp71 Triliun, Insentif Fiskal sekitar Rp8 Triliun yang meliputi alokasi untuk penurunan prevalensi stunting, penurunan kemiskinan ekstrim, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan sebagainya.
Hal ini menunjukkan perhatian pemerintah dalam pengentasan kemiskinan sangat besar.
Tantangan Pengentasan Kemiskinan
Lalu pertanyaannya apakah berbagai kebijakan, program dan alokasi anggaran yang telah berjalan berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia?
Berdasarkan data BPS tahun 2023, secara nasional terjadi penurunan tingkat kemiskinan sejak terjadinya Pandemic Covid 19 tahun 2020 – 2023 menjadi sebesar 9,36%, namun tidak terlalu signifikan, yang secara kumulatif hanya turun sekitar 0,42% dari data 2020 sebesar 9,78%.
Yang menarik tren di Sulawesi Selatan yang lebih fluktuatif, bahkan untuk 2023, terjadi kenaikan sebesar 8,70% dibandingkan 2022 sebesar 8,68%. Adapun untuk data lebih mikro seperti di Kabupaten Sinjai, tren tingkat kemiskinan terus menurun sampai denan 2023 sebesar 8,55%.
Disamping itu, secara kewilayahan untuk tingkat nasional bahwa komposisi penduduk miskin di wilayah pedesaan lebih tinggi penduduk miskin di wilayah perkotaan. Data BPS Bulan Maret 2023, kemiskinan di pedesaan mencapai 12,22% (14,34 juta orang), sementara di perkotaan mencapai 7,29% (11,82 juta orang).
Dari data di atas, maka realisasi ini masih di bawah target nasional sesuai RPJMN 2020 – 2024. Hal inilah yang menjadi tantangan kedepan, karena alokasi anggaran dalam APBN yang terus meningkat setiap tahun. Perlu penguatan strategi yang sudah berjalan saat ini untuk menjalankan program pengentasan kemiskinan di Indonesia agar bisa memenuhi target dalam RPJMN 2020 – 2024 maupun RKP 2025.
Persoalan kemiskinan memang sangat kompleks. Secara teoritis terdapat 3 penyebab utama terjadinya kemiskinan. Pertama, kondisi kemiskinan alamiah dan ekonomi timbul akibat keterbatasan sumber daya alam, manusia, dan sumberdaya lain sehingga peluang produksi relatif kecil dan tidak dapat berperan dalam pembangunan.
Hal ini terjadi di beberapa daerah yang miskin SDA, tanahnya tandus untuk dtanami. Terdapat beberapa daerah yang penduduknya dianggap miskin karena keterbatasan tempat tinggal yang layak huni.
Sebagai contoh kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai karena sebagian penduduk tidak memiliki rumah yang memadai jika mengacu kepada indikator kemiskinan yang dirilis BPS.
Hal ini terjadi akibat keterbatasan luas wilayah Kecamatan Pulau Sembilan dibandingkan komposisi pertambahan jumlah penduduk.
Kebutuhan pembangunan rumah relatif mahal sehingga sebagian masyarakat tidak mampu memenuhinya.
Kedua, kondisi kemiskinan struktural, bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individu, melainkan sruktural.
Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber pendapatan.
Ada beberapa contoh, antara lain sempitnya lapangan pekerjaan yang memadai untuk masyarakat yang memiliki pendidikan dan keterampilan yang rendah, masyarakat pedesaan yang menjadi buruh tani dengan upah minim dan tidak tetap karena tidak memiliki lahan, terjadinya bencana alam yang mengakibatkan masyarakat terdampak menggantungkan kepada bantuan pemerintah, ketimpangan infrastruktur publik antardaerah yang mendukung akses roda perekonomian.
Ketiga, kondisi kemiskinan budaya. Di dalam teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Sebagai contoh kemiskinan yang terjadi di beberapa pedesaan, terjadi bukan semata keterbatasan akses sumber daya, namun sebagian masyarakat yang miskin masih memliki lahan dan hewan ternak, tetapi tidak mampu dioptimalkan karena kemalasan dalam mengolahnya.
Orientasi masyarakat hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup seadanya, bukan dikembangkan lebih besar lagi untuk peningkatan taraf hidup.
Strategi Pengentasan Kemiskinan
Strategi pengentasan kemiskinan yang dikemukakan oleh Bank Dunia, bahwa setiap dekade strategi pengentasan kemiskinan mengalami perkembangan mulai dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, pengembangan kesehatan dan pendidikan, perlindungan sampai dengan pemberdayaan kaum miskin.
Secara teoritis terdapat strategi pengentasan kemiskinan, yaitu strategi jangka pendek dengan memindahkan sumberdaya-sumber daya kepada kaum miskin dalam jumlah yang memadai.
Perbaikan keadaan kemiskinan dalam jangka pendek diantaranya menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan, dan memperbaiki distribusinya, strategi jangka panjang dengan menumbuhkan swadaya setempat.
Perbaikan dalam jangka panjang dengan memperbaiki dan memenuhi harkat hidup secara individual dan sosial yang bermartabat.
Strategi jangka pendek dalam pengentasan kemiskinan adalah melanjutkan berbagai program pemerintah yang sudah berjalan terkait menurunkan beban pengeluaran masyarakat antara lain melalui program bantuan sosial seperti penyaluran Bantuan Tunai Langsung (BLT) dari dana desa, program keluarga harapan (PKH), Program Bantuan Pangan (Rastra dan Bantuan Pangan Non-Tunai), Program Indonesia Pintar (PIP) dan Program Indonesia Pintar Kuliah (PIP-K).
Selain itu, beberapa program yang ditujukan untuk peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan UMKM, perluasan akses lapangan kerja, program padat karya tunai (cash for work), peningkatan kompetensi pekerja melalui pelatihan perlu terus ditingkatkan dari sisi kualitas program, pemerataan cakupan penerima manfaat, dan keterlibatan berbagai pihak terkait. Sinergi antarinstansi pemerintah pusat dan daerah, BUMN/BUMD serta swasta harus semakin massif sehingga sinkronisasi dan keberlanjutan program-program yang sudah berjalan dapat lebih efektif.
Dalam rangka memperkuat berbagai program pemerintah yang sudah berjalan tersebut, pertama perlu dukungan dari sisi ketepatan data seperti penerima Program Perlinsos. Hal ini masih menjadi isu/permasalahan di lapangan yang perlu dipercepat penyelesaiannya. Selama ini data penerima Perlinsos menimbulkan polemik karena penyaluran salah sasaran. Terdapat perbedaan data yang dijadikan dasar penyalurannya.
Oleh karena itu, perlu disinkronkan dengan data yang lebih valid dan terintegrasi. Instansi pemerintah pusat maupun daerah sebagai pengampu Program Perlinsos dapat memanfaatkan data Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi) yang dilakukan oleh BPS.
Regsosek merupakan database penduduk yang mampu mencakup seluruh identitas penduduk Indonesia agar memudahkan proses pengaksesan. Data kependudukan tunggal ini dapat membantu pelaksanaan program secara lebih efisien dan tidak tumpang tindih.
Kedua, Pemerintah dapat mereviu besaran dana bansos atau BLT secara berkala yang tidak sepenuhnya sama besaran dana tersebut di seluruh daerah. Perlu dipertimbangkan penentuan besaran berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat setempat, misalnya mendasarkan tingkat kemahalan harga dan sebagainya. Sebagai gambaran tingkat kemahalan antara wilayah barat Indonesia berbeda dengan wilayah timur Indonesia.
Dengan demikian, nilai manfaat dana yang diterima akan relatif sama meskipun dengan besaran yang lebih beragam.
Langkah ketiga terkait pemberdayaan UMKM dalam bentuk perluasan akses pembiayaan pelaku UMKM yang bersifat nonbankable. Selama ini sudah ada program pembiayaan usaha UMi (Ultra Mikro) untuk diberikan kepada debitur yang memenuhi syarat.
Pembiayaan UMi merupakan dana APBN yang dikelola secara coordinated fund melalui Satker BLU PIP (Pusat Investasi Pemerintah) sebagai bagian Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) untuk disalurkan kepada pelaku usaha Ultra Mikro melalui Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) secara langsung maupun linkage. Program ini merupakan program dana bergulir dengan keunggulannya dari sisi persyaratan dan jaminan yang relatif mudah.
Disamping itu, ada pendampingan dari LKBB kepada para debitur sebagaimana konsep Grameen Bank yang diharapkan dapat meningkatkan usaha dan kesejahteraan para pelaku usaha UMi. Kedepan program ini bisa diperluas kemitraannya dengan menggandeng lembaga semacam BUMDes/Koperasi di desa dengan imbal hasil/bunga relatif terjangkau.
Hal ini mengingat tingkat kemiskinan terbanyak berada di desa, dan sebagian besar petani dan nelayan kesulitan dalam mengakses permodalan secara lebih aman. Banyak petani dan nelayan yang terjebak dengan praktik tengkulak dengan memberikan bunga sangat tinggi sehingga pendapatan yang diperloleh tidak mencukupi untuk menutupi hutangnya.
Perluasan pembiayaan lainnya dapat dibentuk kerjasama antara BUMDes dan petani/peternak/nelayan dengan skema profit sharing.
Skema ini dilakukan oleh BUMDes dengan memberikan modal ke petani untuk dikelola dalam menambah biaya produksi tanpa kewajiban mengembalikan modal berdasarkan kesepakatan. Konsep kerjasama ini relatif aman karena pembagian hasil berdasarkan keuntungan hasil pertanian/peternakan yang telah terjual. Apabila terjadi kerugian, maka ditanggung bersama.
Pihak BUMDes bisa membantu petani/peternak/nelayan mencarikan perusahaan ataupun pengusaha potensial yang membeli hasil pertanian/peternakan tersebut. Dengan demikian, skema kemitraan ini dapat meminimalisir alur distribusi penjualan barang yang dilakukan melalui peran tengkulak.
Praktik ini cukup berhasil dipraktikan oleh salah satu desa di Kabupaten Sinjai, yaitu Desa Aska di Sinjai Selatan untuk produksi dan penjualan jagung kuning.
Selanjutnya, salah satu program strategis yang bisa difokuskan untuk penguatan kemampuan swadaya masyarakat dalam jangka panjang, yaitu memperbanyak penciptaan sentra industri kreatif.
Penciptaan sentra industri ini merupakan cara efektif dalam menumbuhkan perekonomian lokal, seperti pedesaan. Masyarakat dapat mengembangkan keterampilan kreatif menjadi produk yang bernilai jual tinggi.
Hal ini akan menciptakan lapangan kerja baru, serta meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat desa secara keseluruhan. Dengan demikian kualitas hidup masyarakat akan meningkat untuk memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan, layanan kesehatan, infrastruktur, dan fasilitas umum lainnya.
Selain itu, program ini dapat meningkatkan pariwisata dari sisi kreatifitas produk-produk yang dihasilkan, produk kerajinan, kesenian, kuliner dan sebagainya. Hal ini dapat menarik perhatian para wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut.
Namun demikian, dari sisi pelestarian budaya lokal tetap terjaga, bahkan semakin meningkat karena produk-produk yang dihasilkan mencerminkan identitas kearifan lokal dan sekaligus keunggulan daerah tersebut. Kesadaran masyarakat akan semakin menguat terhadap warisan budaya yang dimiliki.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu komitmen dari seluruh pihak terkait tidak hanya elemen masyarakat setempat.
Dukungan dari pemerintah bersama BUMN/BUMD, pengusaha, lembaga pendidikan dan pelatihan termasuk komunitas-komunitas kreatif harus terjalin secara kolaboratif. Hal ini bertujuan untuk membangun jaringan dan kemitraan agar terwujud value chain kegiatan sentra industri dari hulu ke hilir.
Bentuk kemitraan tersebut meliputi indentifkasi potensi dan sumber daya lokal yang dimiliki daerah tersebut, pengembangan infrastruktur dan sarana produksi, promosi dan pemasaran, serta pembinaan dan pengembangan SDM.
Di Sinjai, terdapat Desa Barania, Kecamatan Sinjai Barat yang cukup berhasil menerapkan sentra industri kreatif ini.
Keberhasilan desa ini mampu memadukan konsep agrowisata dan budaya masyarakat yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat setempat sehingga mampu memberikan tambahan lapangan pekerjan baru dan pendapatan masyarakat secara signifikan.
Hal ini mengakibatkan Desa Barania menjadi tujuan pariwisata utama di Kabupaten Sinjai dan berhasil meraih juara 1 dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) Tahun 2022 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk kategori Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability (CHSE).
Peran KPPN dalam pengentasan kemiskinan
KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) merupakan instansi vertikal di bawah DJPb, Kementerian Keuangan memiliki kewenangan sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN).
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 262/PMK.01/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan bahwa tugas KPPN melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan BUN, penyaluran pembiayaan belanja negara, penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui dan dari kas negara berdarsarkan peraturan perundang-undangan.
Dari uraian tugas tersebut, maka KPPN memiliki peran selaku treasurer yang mewakili tugas Menteri Keuangan di daerah.
Dalam konteks belanja, peran KPPN sebagai treasurer adalah memastikan kualitas belanja negara melalui APBN.
Hal ini dilakukan dalam bentuk sosialisasi dan diseminasi berbagai kebijakan terkait pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran kepada satuan kerja (satker) pusat dan daerah, melakukan pencairan dana APBN terkait pengentasan kemiskinan secara tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran sesuai aturan, mendorong satker untuk akselerasi program/kegiatan yang terkait langsung dengan pengentasan kemiskinan.
Selain itu, KPPN memiliki mekanisme monitoring dan evaluasi (monev) yang terukur dalam hal kualitas perencanaan, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan belanja APBN.
Ukuran tersebut dalam bentuk Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA) dengan menggunakan sistem informasi terintegrasi untuk menyajikan data capaian IKPA yang uptodate.
Dalam konteks pengentasan kemiskinan, seluruh data realisasi pelaksanaan program/kegiatan dalam belanja terkait dapat terpantau kinerjanya dari sisi ketepatan perencanaan, governance, penyerapan, dan output yang dihasilkan.
Mengingat posisi KPPN merupakan representasi Kementerian Keuangan dalam pengelolaan APBN, maka peran KPPN semakin berkembang selaku Financial Advisor.
Financial Advisor merupakan peran KPPN dalam memperkuat proses pembinaan dan pendampingan secara berkelanjutan kepada seluruh stakeholder agar bisa mengelola keuangan negara secara optimal.
Terdapat beberapa langkah yang dapat dikembangkan oleh KPPN dalam menjalankan peran sebagai Financial Advisor, pertama membangun sarana komunikasi secara formal.
Mengingat mitra kerja KPPN tidak hanya satker pusat termasuk pemda dalam hal penyaluran Transfer Ke Daerah (TKD), KPPN dapat memperkuat tata kelola keuangan daerah. Proses ini dapat dilakukan mulai dari perencanaan.
KPPN dapat memberikan masukan dalam proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) terkait sinkronisasi program pengentasan kemiskinan dari pusat dan daerah.
Sinkronisasi tersebut terlihat dalam penyusunan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) yang selaras dengan berbagai target dan program kerja pengentasan kemiskinan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Selain itu, KPPN juga dapat terlibat TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) untuk mewujudkan stabilitas harga agar tidak memicu terjadinya kenaikan inflasi yang dapat membebani kemampuan daya beli masyarakat, sehingga rentan jatuh kepada kemiskinan.
Kedua, KPPN dapat mengintesifkan asistensi dan konsultasi teknis kepada satker terkait untuk memetakan dan menandakan (tagging) program/kegiatan mana saja yang relevan dengan pengentasan kemiskinan sesuai aturan dan kebijakan pemerintah.
Selain itu, dalam penyaluran TKD, KPPN punya peran untuk melakukan asistensi kepada pemda terkait pelaksanaan mekanisme penyaluran TKD yang menunjang pengentasan kemiskinan dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD), evaluasi berkala, konsultasi one on one ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan desa.
Sebagai gambaran, dalam hal penyaluran dana desa, KPPN bersama Pemda melakukan edukasi ke desa-desa terkait implementasi kebijakan penyaluran dana desa yang berfokus kepada program pemulihan ekonomi, berupa perlindungan sosial dan penanganan kemiskinan ekstrim dalam bentuk BLT, program ketahanan pangan dan hewani, program pencegahan dan penurunan stunting, dan (iv) program sektor prioritas di desa melalui bantuan permodalan BUMDes serta pengembangan desa sesuai potensi dan karakteristik desa.
Upaya ini sangat bermanfaat bagi desa dalam penyusunan berbagai program kerja dalam APBDes sesuai priortas nasional dan kebutuhan desa.
Beberapa desa di Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai membuat program prioritas antara lain Program Rehab Rumah dari dana desa untuk diberikan per kepala keluarga maksimal Rp10 juta.
Selanjutnya, penggunaan sebagian dana desa untuk program padat karya tunai non kontraktual yang melibatkan rakyat miskin serta untuk pengembangan produk unggulan desa berbasis sumber daya setempat seperti pembentukan desa wisata yang dilakukan oleh Desa Barania dan Desa Panaikang di Kabupaten Sinjai.
KPPN dapat memberikan asistensi dalam pemenuhan berbagai persyaratan dan tahapan dalam penyaluran dana desa agar bisa lebih cepat, tepat, dan sesuai aturan, seperti diatur dalam PMK No. 145 tahun 2023 tentang Pengelolaan Dana Desa.
Selain itu, KPPN melakukan monitoring secara intensif melalui sistem informasi terkait perkembangan penyaluran dana desa yang bisa dipantau tiap desa.
Selanjutnya KPPN melakukan evaluasi rutin bersama pemda dan desa terkait dinamika termasuk kendala dan solusi dalam proses penyaluran dana desa untuk menilai pelaksanaan dan sinkronisasi penyaluran dana desa dengan kebijakan fiskal nasional.
Hasil berbagai peran KPPN selaku Treasurer dan Financial Advisor dengan bersinergi dengan Pemda dan desa terlihat nyata, Sejak tahun 2023 sudah tidak ada lagi kategori desa tertinggal/sangat tertinggal di wilayah Kabupaten Sinjai.
Selain itu, jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) penerima BLT juga berkurang. Sesuai data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten SInjai bahwa jumlah KPM penerima BLT TA 2023 menurun menjadi 2.241 KPM dibandingkan TA 2022 sebesar 7.656 KPM.
Hal ini menunjukkan tingkat kemiskinan di desa lingkup Kabupaten Sinjai semakin berkurang. Langkah lain yang penting dilakukan oleh KPPN terkait pemberdayaan UMKM.
Selama ini KPPN memiliki peran untuk melakukan monev atas pembiayaan UMi terkait ketepatan data penyaluran maupun nilai keekonomian debitur pada saat menerima dana pembiayaan apakah ada peningkatan ekonominya.
Hasil monev tersebut sebagai bahan pertimbangan kepada BLU PIP atas kinerja LKBB terutama dalam hal pendampingan kepada para debitur.
Selain itu, KPPN punya peran dalam membantu pembinaan UMKM dari sisi pemasaran dan pendampingan pengelolaan keuangan.
Hal ini telah dijalankan oleh KPPN Sinjai dalam membantu beberapa pelaku UMKM yang potensial dalam bentuk promosi produk pelaku UMKM melalui berbagai sarana media, mendaftarkan pelaku UMKM ke Sistem Digipay Marketplace.
KPPN sinjai juga memberikan asistensi/bimtek pengelolaan keuangan mikro mulai dari sisi perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban keuangan agar pelaku UMKM dapat mengelola keuangan lebih baik lagi.
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi