KABARTA.ID Luwu Utara – Tim Verifikasi Lapangan (Verlap) Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan yakin inovasi Peta Berbasis Partisipatif (Peta Baper) bisa tembus ke TOP 30 KIPP-JIPP Sulsel. Meski dinilai sebagai inovasi replikasi karena pemetaan partisipatif pernah juga dilakukan di daerah lain, tapi ada hal baru atau ciri khas yang berbeda yang ditampilkan inovasi Bappeda ini dibanding inovasi serupa di daerah lain.
Ketua Tim Verlap KIPP Sulsel, Dermayana Arsal, menyebutkan, inovasi Peta Baper adalah tipe inovasi replikasi karena daerah lain juga pernah melakukannya. Bedanya, kata dia, Peta Baper sedikit lebih unggul dibanding daerah lain yang menerapkan pemetaan partisipatif, karena dalam pelibatan partisipasi masyarakat desa, ada penggunaan dana desa dalam inovasi ini.
“Inovasi ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Tahun 2005, sudah ada daerah melakukan pemetaan partisipatif, tapi Peta Baper ini dimodifikasi dan mendapat tambahan sesuatu yang lebih baru lagi, yaitu penggunaan dana desa yang memang selama ini belum ada. Bahkan baru Luwu Utara yang melakukannya. Jadi, ini adalah inovasi replikasi yang pantas bersaing masuk ke TOP 30 KIPP Sulsel,” ucap Dermayana di sela-sela kegiatan Verifikasi Lapangan Inovasi Peta Baper, Rabu (31/3/2021), di Kantor Kecamatan Malangke.
Yang menarik, Dermayana juga menggali asal-muasal dari proses lahirnya inovasi ini. Di hadapan inovator Peta Baper, ia menanyakan, apakah inovasi Peta Baper murni inovasi yang lahir akibat masalah yang terjadi di masyarakat yang belum terpecahkan, sehingga lahir inovasi tersebut, bukan sebuah program yang menjadi tugas dan fungsi Bappeda itu sendiri. “Hari ini kita juga mau memastikan, apakah inovasi ini murni inovasi, bukan tupoksi Bappeda? Karena banyak juga inovasi lahir karena memang tupoksinya,” kata dia.
Dermayana pun mendapat kepastian bahwa Peta Baper murni inovasi yang lahir karena belum adanya peta tematik yang menegaskan pemetaan batas desa, yang ujungnya bisa menimbulkan masalah dan konflik sosial di tengah masyarakat. “Jadi, sudah jelas bahwa Peta Baper murni inovasi yang dimodifikasi, dan penerima manfaatnya pun juga jelas, yaitu pemerintah kecamatan, pemerintah desa, dan masyarakat yang menjadi pelakon utama dalam pemetaan batas desa. Inovasi ini layak masuk TOP 30, bahkan bersaing di tingkat nasional,” sebutnya.
Sementara itu, inovator Peta Baper, Ikbal Cahyadi, mengakui bahwa inovasi dia adalah inovasi replikasi. Meski begitu, ia bisa memberikan sentuhan berbeda dan kebaruan dalam inovasinya, dengan menggunakan dana desa untuk merancang proses pemetaan batas desa dengan pelibatan partisipasi aktif dari masyarakat. “Mungkin ada sentuhan partisipatif di tempat yang lain, tapi pada tahapan yang kami rangcang itu berbeda dengan daerah lain,” kata Ikbal.
Di mana bedanya? Ikbal menyebutkan, dalam pemetaan desa berbasis partisipatif, pihaknya membentuk tim kerja yang di SK-kan langsung Kepala Desa yang disebut Tim Kerja Pemetaan Desa (TKPD). Tim ini, sebut dia, terdiri dari masyarakat di dua desa yang berbatasan langsung. “Kami membentuk tim kerja di desa, masing-masing lima orang, yang di SK-kan langsung Kepala Desa. Lima orang ini adalah mereka yang tahu betul sejarah dan batas desa. Tim ini juga dibantu oleh masyarakat yang lain untuk meudahkan dalam proses pemetaan,” papar dia.
Ia menambahkan, pelibatan aktif masyarakat bukan satu-satunya kebaruan dalam inovasi ini. Kebaruan lainnya, sebut dia, adalah penggunaan dana desa dalam proses pemetaan, dan pelibatan NGO, seperti Wallacea dan JKPP. NGO ini, lanjut Ikbal, bertugas memberikan advokasi dan pelatihan kepada masyarakat, terkait penggunaan GPS dan informasi lain yang berkaitan dengan pemetaan. “Intinya, semua berkolaborasi menyelesaikan batas desanya. Tentu dengan harapan, terciptanya tatakelola pemerintahan yang baik di desa. Kita punya niat baik dalam menyelesaikan konflik batas desa melalui inovasi ini,” tandasnya. (*/As)