Oleh:
Andi Rante
(Pengamat Ekonomi Milenial/Mantan Sekjen ISMEI 2015-2018)
Akhir tahun lalu hingga sekarang tak hentinya kita mendengar kabar soal skandal mega korupsi di salah satu BUMN Sektor Jasa Keuangan yakni PT Jiwasraya. Dalam skandal ini banyak oknum yang terlibat yang merugikan negara triliunan rupiah.
Mulai dari oknum PT Jiwasraya sendiri, Manajemen Investasi (MI), sampai pada lembaga negara yang ditugaskan sebagai regulator, pengatur, pengawas dan pemantau industri jasa keuangan yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
OJK, fungsi dan tugasnya sehingga bisa menjadi lembaga superbody seperti sekarang ini yang di mana memang sangat berpotensi disalahgunakan jika dipegang dan dikendalikan oleh oknum yang punya niatan dan tujuan dengan memanfaatkan kewenangan super sakti dari fungsi dan tujuan pendirian OJK itu sendiri.
Apa memang perlu OJK itu di bubarkan?
Dalam Amanah UU No 21 Tahun 2011 Tentang OJK, Pertanggal 31 Desember 2012 Kewenangan Kementerian Keuangan melalui BAPEPAM-LK (BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN) digantikan Fungsinya oleh Otoritas Jasa Keuangan begitupun Fungsi BI (Bank Indonesia) dalam hal pengawasan sektor perbankan.
BAPEPAM-LK adalah sebuah lembaga di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang bertugas membina, mengatur dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis dibidang lembaga. Pada saat UU No 21 Tahun 2011 Tentang OJK disahkan, Tanggal 16 Juli 2012 Keanggotaan OJK ada 9 Orang Dewan Komisioner termasuk 2 Anggota Ex officio dari Kementerian Keuangan dan BI.
Setelah tanggal 31 Desember 2012 OJK secara efektif beroperasi. Selanjutnya tanggal 1 Januari 2015 OJK mengalami perluasan kewenangan hingga ke fungsi pengawasan industri keuangan Non-Bank (Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro). Dalam pembentukannya, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat.
OJK adalah lembaga independent dan bebas dari campur tangan pihak lain yang dalam menjalankan tugasnya memiliki fungsi dan wewenang lengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU No 21 Tahun 2011.
Dari ulasan itu sudah bisa kita simpulkan bahwa lembaga OJK ini adalah lembaga super body karena kewenangan dan kekuasaan yang diberikan oleh UU sangat terlampau luas dan sangat sakti pada industri jasa keuangan.
Kewenangan sakti yang melekat pada OJK seharusnya bisa membuat lembaga keuangan kita baik Bank dan Non Bank itu bisa tumbuh sehat. Masyarakat mendapatkan jaminan atas dana yang mereka simpan di lembaga-lembaga keuangan.
Tapi jika bercermin dari kasus jiwasraya ini malah OJK terkesan menjadi duri dalam daging, menjadi backing dan menjadi pagarnya oknum-oknum nakal. Bukan mengatasi dan menyehatkan tapi oknum dari OJK ini malah bagian dari perampokan berjemaah uang nasabah PT Jiwasraya.
Bukan tak bisa hal serupa dilakukan juga oleh oknum OJK dilembaga keuangan lainnya dengan kewenangannya yang tak terbatas ini seperti yang terjadi di Jiwasraya. Kewenangan OJK dalam hal regulator, pengaturan, pengawasan jasa keuangan sektor perbankan, pasar modal, sektor non bank lainnya dan kewenangan apapun pada OJK dikembalikan ke BI sebagai bank central dan atau kembali dibawah pengawasan langsung Kementerian keuangan seperti BAPEPAM-LK.
Tapi dengan aturan yang makin diperketat sehingga antara BI dan Kemenkeu bisa saling bersinergi dalam hal Regulator, Pengawasan, dan Pengaturan Sektor Jasa Keuangan. Lembaga yang terlampau banyak juga berindikasi menjadi alat oleh oknum yang hendak berniat jahat, selain itu pemborosan uang negara untuk operasional yang sebenarnya bisa di handle oleh satu lembaga saja.
Akibat ulah oknum nakal pada kasus Jiwasraya ini, kerugian negara dalam hasil audit BPK yang di publis ditaksir sebesar Rp16,81 triliun. Nasabah-nasabah ini perlu mendapatkan perhatian tapi bukan berarti PT Jiwasraya secara manajemen dan oknum yang telah di tetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka baik perorangan maupun Corporate itu lepas dari beban materil. Mereka harus ikut menangung beban kerugian ini.
Menurut hasil pemeriksaan, nilai aset dari 6 Orang tersangka awal itu sebesar Rp11 triliun, dan itu bisa dijadikan sebagai pengganti kerugiaan nasabah jika tersangka ini sudah ditetapkan sebagai terpidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
Jangan selalu dalihnya negara yang harus ganti atas perampokan orang. Kalau begini model penyelesaian korupsi di BUMN khususnya jasa keuangan, yah pasti akan ada lagi model-model serupa dikemudian hari. Hal ini juga harus jadi pelajaran untuk regulasi perundang-undangan kedepannya terkait perasuransian dan jasa keuangan lainnya agar bisa lebih ketat sampai pada sanksi terkhusus. Sanksi pengembalian kerugian.
Jika melihat neraca keuangan PT Jiwasraya saat ini dimana Aset tahun 2019 itu tercatat Rp25,68 triliun sementara liabilitynya sekitar Rp49,60 triliun ini artinya ekuitas perusahaan itu pada posisi negatif sekitar Rp23,92 triliun. Dalam hal ini, fungsi OJK itu di mana untuk menyehatkan perusahaan plat merah yang lagi sakit ini.
Pada kasus gagal bayar atas pemegang polis PT Jiwasraya, sepantasanyalah negara tidak boleh memanjakan koruptor, hanya dihukum penjara tapi beban materil yang diakibatkan oleh ulah mereka hilang begitu saja. Hukum harus dan wajib menyasar ke arah sana sehingga pelaku pelaku tersebut bisa jerah.
Jika ada opsi pembubaran OJK dari pemerintah dan DPR maka sudah pas untuk dibubarkan entah dengan PERPU atau perundang-undangan Lainnya. Intinya OJK tak hadir sebagaimana tujuan pembentukannya, malah kewenangan super body yang dimilikinya lebih untuk menyehatkan dan memuluskan misi kepentingan oknum dari OJK dan pemain jasa keuangan lainnya. Lebih baik dibubarkan dan diberikan ke BI sebagai Bank Central.
Tugas OJK tersebut dan pemerintah dalam hal ini Kemenkeu tetap sebagai pengendali. Koordinasi antar dua lembaga ini sudah cukup ampuh untuk kembali menyehatkan pasar jasa keuangan kita. Manajemen pengelolaan dan koordinasinya nanti diserahkan ke Pemerintah dan DPR untuk mengatur itu semua melalui mekanisme perundang-undangan.
Kelemahan di negeri kita itu adalah terlampau banyaknya lembaga yang sebenarnya bisa di rampingkan. Selain potensi tidak berfungsi juga akan berpotensi disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu pemborosan belanja negara untuk operasional lembaga akan meningkat. (*)